CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 22 Februari 2009



Mendambakan Guru yang Humoris
Oleh: SULARDI , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati Sidoarjo

Era reformasi yang identik dengan rumit, runyam, dan semrawutnya kehidupan di negeri tercinta ini sangat mengguncang fisik dan psikis masyarakat. Kondisi perpolitikan, perekonomian, pendidikan, bahkan sampai dengan moralitas hampir-hampir terpuruk sampai pada titik terendah. Belum lagi ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, berbagai bencana melanda dan mendera di sana-sini sungguh merupakan beban yang makin berat menindih kehidupan bangsa ini. Hal ini membawa konsekuensi kerasnya pola kehidupan yang cenderung menjadi sensitif, emosional, dan temperamental di seluruh lapisan masyarakat termasuk para pelajar/siswa. Bukti-bukti sangat banyak dan tidak perlu diragukan, bisa disimak di semua media baik cetak maupun elektronika. Berapa banyak siswa terlibat kekerasan, berapa banyak siswa jualan koran, asongan, sampai dengan pemulung dan anak jalanan hanya karena terpaksa harus membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya. Dunia rekreatif nyaris tak pernah tersentuh oleh mereka.

Dari ilustrasi di atas dapat dibayangkan betapa berat beban hidup siswa ketika di luar sekolah. Belum lagi di sekolah harus dituntut mengikuti pelajaran ini dan itu, menyelesaikan tugas dari guru ini dan itu. Hal yang demikian masihkah harus ditambah dengan tampang, peampilan, dan perlakuan-perlakuan yang menyeramkan dan tidak menyenangkan ketika di sekolah. Jawabannya sudah barang tentu tidak. Kondisi yang demikian seyogianya dicarikan kompensasi penawarnya demi terwujudnya tujuan sebuah pembelajaran yang optimal. Untuk itu, guru yang humorislah salah satu alternatifnya.

Guru yang humoris senantiasa cerdas dalam menciptakan dan mengondisikan suasana pembelajaran yang memnyenagkan dan menggairahkan bagi para siswanya. Kelakar dan joke-joke segar senantiasa bisa dimunculkan dan dikaitkan dangan berbagai konteks dan materi dalam pembelajaran. Apapun materinya dan bagaimanapun suasananya, guru yang humoris mampu meramu menjadi sebuah anekdot yang menggelitik dan menggelikan. Sudah barang tentu hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah menyesuaikan materi anekdot dengan tingkat perkembangan usia siswa. Sehingga, dengan suasana yang cair dan segar tersebut, pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggairahkan. Secara psikologis siswa siap untuk menerima pelajaran, materi yang menjemukan menjadi mengasyikkan, yang sulit menjadi gampang. Seorang guru jangan terlalu berharap dengan hasil pembelajaran yang maksimal apabila tidak bisa menciptakan kondisi awal siswanya untuk siap menerima pelajaran. Salah satu indikator siswa siap belajar adalah siswa dipastikan senyum (tertawa) sebelum pelajaran dimulai.

Jangan pernah memulai pelajaran sebelum siswa Anda "unjuk gigi" (baca: senyum atau tertawa). Jika wajah para siswa Anda masih layu, cemberut, asam, muram, apalagi tegang jangan mulai atau hentikan dulu pemembelajaran Anda. Kalau boleh dianalogikan pembelajaran itu seperti orang mengisikan air dari ember ke dalam gelas-gelas, ketika guru memasuki ruang kelas, siswanya itu seperti deretan gelas yang masih berantakan. Ada yang sudah tegak dan tengadah, ada yang masih miring, roboh, bahkan ada yang masih tengkurap. Bagi yang sudah tegak dan tengadah, gelas tersebut siap diisi oleh guru dengan air (ilmu pengetahuan), namun bagaimana dengan gelas yang masih dalam posisi miring, roboh, bahkan yang masih tengkurap itu. Bisa masukkah seandainya seember air dikucurkan kepada gelas-gelas tersebut? Itulah tugas guru untuk mengondisikannya lebih dahulu dengan kelakar dan joke-joke segarnya.

Sudah banyak teori yang menyarankan penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Di antaranya Quantum Teaching, Quantum Learning, PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif), bahkan secara eksplisit juga sudah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan. Semua ini kata kuncinya adalah guru. Bisakah guru membawa siswanya ke dalam dunia pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu tipe guru yang memenuhi syarat untuk hal tersebut adalah guru yang humoris.

Secara umum guru yang humoris adalah sosok guru yang dekat di hati siswanya. Dengan kedekatan tersebut, ada kontribusi positif terhadap keberhasilan pembelajaran. Kehadiran guru di kelas dan di arena pembelajaran senantiasa dirindukan oleh para siswanya. Keteladanan dan performennya pasti diidolakan di kalangan siswanya. Begitu pula apa yang disampaikan (pelajaran) oleh guru akan diterimanya dengan antusias dan perasaan yang menyenangkan. Mustahil seseorang bisa menerima sesuatu (baca: pengetahuan) dari orang lain tanpa dilandasi rasa senang dan suka (cinta).

Sulit kiranya seorang guru yang memiliki sifat antagonis dengan sifat humor untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran seperti yang disarankan di atas. Katakanlah sebagai antagonis sifat humor adalah pemarah, seram atau galak, atau lebih baik dari itu adalah serius (kaku). Kharakter-kharakter tersebut sulit digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan. Justru sebaliknya, kharakter-kharakter tersebut akan menghasilkan suasana pembelajaran yang kaku, beku, dan menyeramkan bagi siswa yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya hal-hal yang buruk bagi perkembangan siswa baik secara pedagogis maupun psikologis.

Rangkaian sifat pemarah, seram, galak dari seorang guru biasanya adalah hukuman atau sanksi bagi para siswa baik sekadar berupa bentakan, makian, sampai dengan hukuman fisik (tindakan). Hal yang demikian tidak memberikan dampak yang positif terhadap pembelajaran, justru sebaliknya. Marah dan hukuman fisik yang keras bukan merupakan tindakan perbaikan, melainkan hanya merupakan tindakan balas dendam. Pembelajaran dan pendisiplinan yang dilakukan dengan marah dan hukuman hanya akan menghasilkan akibat buruk seperti di bawah ini.

Pertama, cacian, makian, serta tindakan keras secara lambat laun akan menjadikan siswa percaya bahwa mereka adalah persis dengan apa yang dikatakan oleh guru kepadanya. Karena, seakan-akan guru - yang juga merupakan orangtua keduanya - benci kepadanya dan pada akhirnya ia juga segera membenci dirinya sendiri.

Kedua, sebagai akibat berikutnya adalah anak akan kehilangan kepercayaan diri sendiri atau selalu merasa rendah diri. Bagaimana mereka bisa percaya diri untuk berhasil apabila mereka selalu merasa tidak bernilai. Semangat mereka akan selalu dilemahkan oleh perasaannya sendiri bahwa dirinya adalah sosok yang rendah, tidak mampu, bahkan hina seperti isi caci-maki gurunya. Pikiran mereka selalu dipenuhi dengan rasa bersalah dan perasaan tidak bernilai terhadap dirinya. Akhirnya, mereka tidak pernah bisa memecahkan permasalahannya karena permasalahan tersebut tidak pernah menjadi bahan dan materi dalam pikirannya. Mereka senantiasa memikirkan rasa bersalah dan betapa tidak bernilainya diri mereka.

Ketiga, setiap siswa yang berhasil dalam proses belajar pasti sadar bahwa kerja keras akan memberikan suatu tingkat keunggulan pada dirinya dan sebaliknya kelalaian akan memberikan petaka/ kerugian. Sementara, siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui kemarahan akan mengalami kesulitan untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan. Siswa yang biasa dicaci-maki, dihukum, dan dikritik dengan rasa marah akan menjadi begitu takut. Sehingga, mereka segera belajar bahwa tindakan yang aman adalah tidak berbuat atau bertindak apa-apa. Mereka selalu takut salah yang pada akhirnya tidak pernah ingin mencoba dan mencoba lagi. Karena ketakutannya tersebut mereka menjadi canggung dan selalu beranggapan bahwa dirinya sebagai orang yang tidak cakap dan orang yang gagal.

Keempat, harapan guru untuk sukses dan berhasil dalam pembelajarannya adalah sesuatu yang wajar. Namun, kemarahan dalam proses membelajarkan mereka akan menimbulkan pergumulan antara keinginan mereka untuk berhasil dengan tuntutan keberhasilan dari guru. Jika sikap mental ini menjadi pilihan mereka, maka siswa akan menjadi tegang dalam menyelesaikan setiap tugas-tugasnya. Sebab, mereka akan merasa selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan tersebut.

Kelima, bila siswa sudah mulai menyadari bahwa kemarahan guru terhadap kesalahannya memang benar, mereka akan merasa sakit hati dan benci kepada orang yang menghukumnya. Kalau siswa sudah benci kepada seorang guru, jangan berharap mereka akan mengikuti pelajaran guru tersebut dengan baik. Sebab, kebencian siswa kepada seorang guru identik dengan kebencian siswa kepada pelajaran yang diampu oleh guru tersebut. Lebih jauh dari hal tersebut, kebencian siswa kepada guru akan menimbulkan rasa balas dendam yang akibatnya tidak pernah kita inginkan.

Masih lekat di ingatan kita beberapa prinsip dalam revolusi belajar. Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan; jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas; jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu; jika anak tidak banyak dipersalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri; jika anak mengenyam rasa nyaman, ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitarnya; jika anak dikerumuni keramahan (baca: humor), ia akan terbiasa berpendirian. Selamat merefleksi diri dan merenung kembali wahai para guru.

1 komentar:

SMK Penerbangan Sidoarjo mengatakan...

benar pak, artikel anda sungguh menggugah. Tapi bagaimana jika anak dalam kondisi dibawah rata-rata yang bersekolah disekolah umum?
guru super mana yang mampu mengatasi hal tersebut?
Bagaimanapun peran orang tua juga harus disertakan dan orang tua harus tahu bagaimana kemampuan si anak shg tidak sembarangan memasukkan anak di sekolah umum jika kemampuannya dibawah rata-rata.