CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 22 Februari 2009


Mengajar dengan Bahasa Cinta
Oleh : Sulardi S.Pd,MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati


"Tuhan kirimkanlah aku… guru yang baik hati yang mencintai aku apa adanya." Itulah sepenggal pelesetan lagu Dewa syarat makna dan merupakan ungkapan seorang siswa yang sedang merana dalam belajarnya.

Berdasarkan hasil survei kecil-kecilan kepada teman-teman guru di sekolah kami, ternyata 9 di antara 10 guru pernah mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan ketika mereka masih duduk di bangku SD, SMP, atau SMA sekitar 20 hingga 30 tahun yang lalu. Ingatan mereka, termasuk penulis, masih segar ketika mendapat hukuman spontan dari guru karena divonis melakukan suatu kesalahan. Misalnya, mengganggu teman, berbicara atau bermain ketika guru sedang menerangkan, tidak mengerjakan PR, tidak bisa menjawab soal dengan benar, dan nyontek ketika ulangan.

Berbagai macam hukuman pun segera kami terima, disuruh berdiri di depan kelas, dijewer bergiliran oleh teman sekelas, dijemur, dan membersihkan kamar mandi. Bahkan, penulis pernah dimasukkan ke dalam lemari cukup lama, baru dibuka setelah menangis keras.

Hukuman itu juga dibumbui dengan kata-kata pedas yang melukai hati, misalnya: "Dasar anak nakal, kerjanya mengganggu teman terus!", "Dasar bodoh, diterangkan berulang-ulang masih saja tidak bisa!", "Anak malas kamu, masak PR 10 soal saja tidak selesai!", "Yang bekerja tangan, bukan mulut!", dan sebagainya. Kalimat-kalimat seperti itu sering meluncur dari bibir guru dengan ekspresi seperti tokoh antagonis dalam sinetron. Interaksi pembelajaran demikian sebenarnya adalah pelajaran mendalam tentang kebencian dan dendam.

Dengan hukuman dan lontaran kata-kata seperti itu, seorang guru mengharapkan siswanya akan menjadi lebih baik, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah kata-kata yang menjatuhkan mental atau motivasi belajar anak. Hasil yang didapatkan dari kata-kata itu adalah "kejatuhan mental" anak, bukan "kebangkitan mental" anak. Akibatnya, hubungan antara guru dan siswa menjadi kaku dan suasana belajar pun tidak menyenangkan.

Sebaik apa pun metode pembelajaran yang diterapkan seorang guru, semuanya akan tetap menjadi sia-sia apabila guru tersebut lupa cara membangun hubungan yang baik dengan para siswanya. Menurut DePorter (2007:25), satu hal yang dapat menarik minat siswa untuk belajar adalah guru membangun hubungan dengan siswanya sebagai manusia yang memiliki rasa cinta. Oleh karena itu, bahasa cinta adalah salah satu kunci sukses bagi semua guru untuk membangun sebuah hubungan yang indah dengan siswa agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan.

Memakai perkataan yang baik untuk membangun adalah suatu hal yang jauh lebih bijaksana daripada memakai perkataan yang kotor. Maxwell (1999:35) berpendapat bahwa seseorang dapat membangun sebuah hubungan yang indah dengan orang lain apabila dia sanggup mengatakan:


1. Enam kata terpenting: Saya mengakui telah melakukan kesalahan besar.

Sosok seorang guru adalah sosok yang dikagumi dan dihormati. Hal ini terkadang membuat sang guru merasa seperti "diagungkan" sehingga akan menjadi sangat memalukan baginya untuk mengakui kesalahan yang mungkin telah dia perbuat kepada para siswanya. Salah satu alasannya adalah karena takut kehilangan wibawa. Sesungguhnya, mengakui kesalahan adalah lebih baik daripada menutupi kesalahan karena wibawa seorang guru akan terlihat dari apa yang telah dia lakukan. Sikap mengakui kesalahan dan mau minta maaf menunjukkan kebersihan hati seseorang.


2. Lima kata terpenting: Anda melakukan pekerjaan dengan baik.

Memuji siswa atas keberhasilan yang telah dicapai atau memuji atas tiap usaha yang telah dia lakukan dalam pembelajaran ternyata mampu membantu meningkatkan motivasi belajar. Dengan memberikan pujian, berarti seorang guru sedang menumbuhkan kepercayaan diri pada siswanya sehingga siswa tersebut dapat mendorong dirinya sendiri untuk dapat lebih maju dalam meraih kesuksesan belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sama-sama perlu dihargai.


3. Empat kata terpenting: Bagaimana menurut pendapat Anda?

Bertanya tentang pendapat siswa adalah sebuah hal luar biasa yang sebaiknya dilakukan oleh guru. Dengan bertanya demikian, seorang guru memosisikan diri menjadi seorang teman yang membutuhkan pendapat dan hal ini akan membuat siswa belajar untuk saling menghargai.


4. Tiga kata terpenting: Jika Anda berkenan...

Menanyakan dan memberikan pilihan-pilihan kepada siswa sehubungan dengan proses pembelajaran akan membuat siswa berlatih untuk mengambil keputusannya sendiri tanpa ada unsur pemaksaan. Siswa terdidik untuk terus berpikir kreatif dalam mencari pemecahan suatu masalah.


5. Dua kata terpenting: Terima kasih.

Kata-kata "terima kasih" adalah sebuah ungkapan yang bermakna luas. Ketika seorang siswa mampu mengatakan terima kasih baik kepada teman atau gurunya, berarti dia memiliki kepekaan bahwa apa yang telah berhasil dia dapatkan adalah bukan karena kehebatannya sendiri, melainkan ada orang lain yang turut membantu. Dari sinilah siswa dapat belajar untuk menyadari bahwa bekerja sama merupakan hal yang sangat baik untuk dilakukan.


6. Satu kata terpenting: Kita.

Kata "kita" menjadi sangat penting ketika guru mengajak siswanya untuk masuk dalam proses belajar-mengajar. Kata "kita" mengandung makna kesatuan dan kebersamaan. Dalam hal ini, kesatuan dan kebersamaan mutlak diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan belajar. "Bawalah dunia siswa ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia siswa (quantum learning). Semakin jauh Anda memasuki dunia siswa, semakin jauh pengaruh yang dapat Anda berikan kepada mereka." (Degeng, 2006).


7. Satu kata paling tidak penting: Saya

Kata "saya" menjadi tidak penting di sini karena kata "saya" menunjukkan ego yang berkonotasi negatif. Pengagungan terhadap kemampuan diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain menyebabkan anak memiliki pola pikir yang mengarah pada kepentingan diri sendiri. Dia akan mencontoh sikap egois yang ditunjukkan sang guru.


8. Satu kata terburuk: Jangan! Dilarang! Awas! Harus!

Kata-kata seperti ini sangat sering dikatakan oleh guru terhadap siswanya. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh siswa harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Tidak ada tempat untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.


9. Satu kata terindah: Silakan..

Setiap orang mendambakan untuk dapat melakukan hal-hal yang sesuai dengan apa yang dirindukan. Ketika siswa menyatakan kepada guru tentang kerinduannya menyampaikan suatu keinginan atau melakukan suatu kegiatan, satu-satunya kata yang diharapkan didengar adalah kata "silakan".

Sebagai makhluk sosial, manusia merupakan indvidu yang memerlukan manusia lain untuk dapat hidup di dunia. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah setiap individu memahami dan menguasai hukum yang berlaku antarmanusia. Sepuluh hukum hubungan antarmanusia menurut Maxwell (1999:6: 1) berbicara kepada orang lain, 2) tersenyum kepada orang lain, 3) memanggil orang lain dengan namanya, 4) bersahabat dan suka menolong, 5) menjadi orang yang ramah, 6) menunjukkan ketertarikan yang tulus pada orang lain, 7) mudah memuji, 8) tenggang rasa terhadap orang lain, 9) terbuka, dan 10) siap memberikan pelayanan.

Jika guru telah sanggup menjalankan 10 hukum tersebut, akan terciptalah hubungan yang harmonis sehingga pembelajaran akan menjadi menyenangkan karena baik guru maupun siswa sejahtera. Bahasa cinta bukanlah bahasa yang sulit diaplikasikan. Jika telah ada niat baik ketika berbicara, maka setiap individu pasti sanggup memilih dan menggunakan kata-kata yang sedap didengar.

Apabila seorang guru telah mampu berkata-kata dalam bahasa cinta kepada siswanya dan begitu juga sebaliknya, maka akan terjalin hubungan yang harmonis antara guru dan siswa. Hal inilah yang akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Belajar bukan lagi sebuah hal yang membebani dan menakutkan, tetapi belajar adalah sesuatu yang menyenangkan, bebas, santai, penuh ketakjuban, dan menggairahkan.

Dengan bahasa cinta, hubungan yang kaku dan monoton antara guru dan siswa sudah saatnya diubah menjadi sebuah hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang sehingga tidak ada lagi kata-kata kotor yang muncul. Sebagai gantinya, muncul kata-kata terpuji yang bersumber dari kebersihan hati seorang guru untuk menumbuhkan pribadi-pribadi unggul. (*)



Mendambakan Guru yang Humoris
Oleh: SULARDI , S.Pd.MM
Guru Bahasa Inggris di SMK Penerbangan Sedati Sidoarjo

Era reformasi yang identik dengan rumit, runyam, dan semrawutnya kehidupan di negeri tercinta ini sangat mengguncang fisik dan psikis masyarakat. Kondisi perpolitikan, perekonomian, pendidikan, bahkan sampai dengan moralitas hampir-hampir terpuruk sampai pada titik terendah. Belum lagi ditambah dengan kondisi alam yang kurang bersahabat, berbagai bencana melanda dan mendera di sana-sini sungguh merupakan beban yang makin berat menindih kehidupan bangsa ini. Hal ini membawa konsekuensi kerasnya pola kehidupan yang cenderung menjadi sensitif, emosional, dan temperamental di seluruh lapisan masyarakat termasuk para pelajar/siswa. Bukti-bukti sangat banyak dan tidak perlu diragukan, bisa disimak di semua media baik cetak maupun elektronika. Berapa banyak siswa terlibat kekerasan, berapa banyak siswa jualan koran, asongan, sampai dengan pemulung dan anak jalanan hanya karena terpaksa harus membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya. Dunia rekreatif nyaris tak pernah tersentuh oleh mereka.

Dari ilustrasi di atas dapat dibayangkan betapa berat beban hidup siswa ketika di luar sekolah. Belum lagi di sekolah harus dituntut mengikuti pelajaran ini dan itu, menyelesaikan tugas dari guru ini dan itu. Hal yang demikian masihkah harus ditambah dengan tampang, peampilan, dan perlakuan-perlakuan yang menyeramkan dan tidak menyenangkan ketika di sekolah. Jawabannya sudah barang tentu tidak. Kondisi yang demikian seyogianya dicarikan kompensasi penawarnya demi terwujudnya tujuan sebuah pembelajaran yang optimal. Untuk itu, guru yang humorislah salah satu alternatifnya.

Guru yang humoris senantiasa cerdas dalam menciptakan dan mengondisikan suasana pembelajaran yang memnyenagkan dan menggairahkan bagi para siswanya. Kelakar dan joke-joke segar senantiasa bisa dimunculkan dan dikaitkan dangan berbagai konteks dan materi dalam pembelajaran. Apapun materinya dan bagaimanapun suasananya, guru yang humoris mampu meramu menjadi sebuah anekdot yang menggelitik dan menggelikan. Sudah barang tentu hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah menyesuaikan materi anekdot dengan tingkat perkembangan usia siswa. Sehingga, dengan suasana yang cair dan segar tersebut, pembelajaran menjadi menyenangkan dan menggairahkan. Secara psikologis siswa siap untuk menerima pelajaran, materi yang menjemukan menjadi mengasyikkan, yang sulit menjadi gampang. Seorang guru jangan terlalu berharap dengan hasil pembelajaran yang maksimal apabila tidak bisa menciptakan kondisi awal siswanya untuk siap menerima pelajaran. Salah satu indikator siswa siap belajar adalah siswa dipastikan senyum (tertawa) sebelum pelajaran dimulai.

Jangan pernah memulai pelajaran sebelum siswa Anda "unjuk gigi" (baca: senyum atau tertawa). Jika wajah para siswa Anda masih layu, cemberut, asam, muram, apalagi tegang jangan mulai atau hentikan dulu pemembelajaran Anda. Kalau boleh dianalogikan pembelajaran itu seperti orang mengisikan air dari ember ke dalam gelas-gelas, ketika guru memasuki ruang kelas, siswanya itu seperti deretan gelas yang masih berantakan. Ada yang sudah tegak dan tengadah, ada yang masih miring, roboh, bahkan ada yang masih tengkurap. Bagi yang sudah tegak dan tengadah, gelas tersebut siap diisi oleh guru dengan air (ilmu pengetahuan), namun bagaimana dengan gelas yang masih dalam posisi miring, roboh, bahkan yang masih tengkurap itu. Bisa masukkah seandainya seember air dikucurkan kepada gelas-gelas tersebut? Itulah tugas guru untuk mengondisikannya lebih dahulu dengan kelakar dan joke-joke segarnya.

Sudah banyak teori yang menyarankan penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Di antaranya Quantum Teaching, Quantum Learning, PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif), bahkan secara eksplisit juga sudah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan. Semua ini kata kuncinya adalah guru. Bisakah guru membawa siswanya ke dalam dunia pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu tipe guru yang memenuhi syarat untuk hal tersebut adalah guru yang humoris.

Secara umum guru yang humoris adalah sosok guru yang dekat di hati siswanya. Dengan kedekatan tersebut, ada kontribusi positif terhadap keberhasilan pembelajaran. Kehadiran guru di kelas dan di arena pembelajaran senantiasa dirindukan oleh para siswanya. Keteladanan dan performennya pasti diidolakan di kalangan siswanya. Begitu pula apa yang disampaikan (pelajaran) oleh guru akan diterimanya dengan antusias dan perasaan yang menyenangkan. Mustahil seseorang bisa menerima sesuatu (baca: pengetahuan) dari orang lain tanpa dilandasi rasa senang dan suka (cinta).

Sulit kiranya seorang guru yang memiliki sifat antagonis dengan sifat humor untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran seperti yang disarankan di atas. Katakanlah sebagai antagonis sifat humor adalah pemarah, seram atau galak, atau lebih baik dari itu adalah serius (kaku). Kharakter-kharakter tersebut sulit digunakan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan. Justru sebaliknya, kharakter-kharakter tersebut akan menghasilkan suasana pembelajaran yang kaku, beku, dan menyeramkan bagi siswa yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya hal-hal yang buruk bagi perkembangan siswa baik secara pedagogis maupun psikologis.

Rangkaian sifat pemarah, seram, galak dari seorang guru biasanya adalah hukuman atau sanksi bagi para siswa baik sekadar berupa bentakan, makian, sampai dengan hukuman fisik (tindakan). Hal yang demikian tidak memberikan dampak yang positif terhadap pembelajaran, justru sebaliknya. Marah dan hukuman fisik yang keras bukan merupakan tindakan perbaikan, melainkan hanya merupakan tindakan balas dendam. Pembelajaran dan pendisiplinan yang dilakukan dengan marah dan hukuman hanya akan menghasilkan akibat buruk seperti di bawah ini.

Pertama, cacian, makian, serta tindakan keras secara lambat laun akan menjadikan siswa percaya bahwa mereka adalah persis dengan apa yang dikatakan oleh guru kepadanya. Karena, seakan-akan guru - yang juga merupakan orangtua keduanya - benci kepadanya dan pada akhirnya ia juga segera membenci dirinya sendiri.

Kedua, sebagai akibat berikutnya adalah anak akan kehilangan kepercayaan diri sendiri atau selalu merasa rendah diri. Bagaimana mereka bisa percaya diri untuk berhasil apabila mereka selalu merasa tidak bernilai. Semangat mereka akan selalu dilemahkan oleh perasaannya sendiri bahwa dirinya adalah sosok yang rendah, tidak mampu, bahkan hina seperti isi caci-maki gurunya. Pikiran mereka selalu dipenuhi dengan rasa bersalah dan perasaan tidak bernilai terhadap dirinya. Akhirnya, mereka tidak pernah bisa memecahkan permasalahannya karena permasalahan tersebut tidak pernah menjadi bahan dan materi dalam pikirannya. Mereka senantiasa memikirkan rasa bersalah dan betapa tidak bernilainya diri mereka.

Ketiga, setiap siswa yang berhasil dalam proses belajar pasti sadar bahwa kerja keras akan memberikan suatu tingkat keunggulan pada dirinya dan sebaliknya kelalaian akan memberikan petaka/ kerugian. Sementara, siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui kemarahan akan mengalami kesulitan untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan. Siswa yang biasa dicaci-maki, dihukum, dan dikritik dengan rasa marah akan menjadi begitu takut. Sehingga, mereka segera belajar bahwa tindakan yang aman adalah tidak berbuat atau bertindak apa-apa. Mereka selalu takut salah yang pada akhirnya tidak pernah ingin mencoba dan mencoba lagi. Karena ketakutannya tersebut mereka menjadi canggung dan selalu beranggapan bahwa dirinya sebagai orang yang tidak cakap dan orang yang gagal.

Keempat, harapan guru untuk sukses dan berhasil dalam pembelajarannya adalah sesuatu yang wajar. Namun, kemarahan dalam proses membelajarkan mereka akan menimbulkan pergumulan antara keinginan mereka untuk berhasil dengan tuntutan keberhasilan dari guru. Jika sikap mental ini menjadi pilihan mereka, maka siswa akan menjadi tegang dalam menyelesaikan setiap tugas-tugasnya. Sebab, mereka akan merasa selalu dihantui oleh tuntutan-tuntutan tersebut.

Kelima, bila siswa sudah mulai menyadari bahwa kemarahan guru terhadap kesalahannya memang benar, mereka akan merasa sakit hati dan benci kepada orang yang menghukumnya. Kalau siswa sudah benci kepada seorang guru, jangan berharap mereka akan mengikuti pelajaran guru tersebut dengan baik. Sebab, kebencian siswa kepada seorang guru identik dengan kebencian siswa kepada pelajaran yang diampu oleh guru tersebut. Lebih jauh dari hal tersebut, kebencian siswa kepada guru akan menimbulkan rasa balas dendam yang akibatnya tidak pernah kita inginkan.

Masih lekat di ingatan kita beberapa prinsip dalam revolusi belajar. Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan; jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas; jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu; jika anak tidak banyak dipersalahkan, ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri; jika anak mengenyam rasa nyaman, ia akan terbiasa mengandalkan diri dan mempercayai orang sekitarnya; jika anak dikerumuni keramahan (baca: humor), ia akan terbiasa berpendirian. Selamat merefleksi diri dan merenung kembali wahai para guru.






MENGAJAR SESUAI DENGAN TALENTA ANAK
Oleh : Sulardi,S.Pd,MM

Upacara penutupan Paralympic Games XII atau Olimpiade Penyandang Cacat di Athena, Yunani, digetarkan oleh atraksi luar biasa dari kelompok penari Negeri Tirai Bambu, Disabled People Performing Art, dalam pentas bertajuk ”My Dreams-from Olympia to Forbidden City”. Pentas spektakuler ini mengusung sebuah tarian Thousand-Hand Bodhisattva.
Pertunjukan ini menggambarkan Guan Yin (Kuan In) Seribu Tangan yang suci dan selalu welas asih memberkati seluruh umat manusia. Sebanyak 21 penari membentuk barisan sejajar dan menggerakkan tangan secara selaras membentuk helaian sayap merak sebagai harmoni keindahan.
Tampak dari depan, seolah Sang Dewi sedang menggerakkan ribuan tangannya dengan serasi dan indah. Pertunjukan semakin mencengangkan dan mengharukan manakala semua pemainnya merupakan penyandang tunarungu dan tunawicara. Kekaguman semakin memuncak ketika tanpa disangka, sembilan pemain di antaranya adalah pria. Dengan postur tubuh, ukuran tangan, dan kelembutan gerakan mereka luruh dalam kesatuan harmoni musik khas China. Dengan didampingi empat instruktur, mereka mampu memainkan gerakan rumit yang tetap kompak dan memesona.
Menggali keunikan talenta
Dari pertunjukan tersebut, sebenarnya kita diajak melihat core value dari keberhasilan sebuah proses pendidikan. Semua pemain pertunjukan tersebut merupakan orang yang memiliki sisi kekurangan dan kelemahan. Bahkan, di kalangan masyarakat luas telah terjadi stigmatisasi kelemahan permanen bagi mereka. Namun dengan segala kelemahan yang mereka miliki, seorang instruktur mampu membalikkan genotipe kelemahan menjadi talenta yang terpoles mengilap.
Butuh waktu untuk berproses dalam alur pembelajaran ini. Apalagi secara manusiawi, penyandang tunarungu akan kesulitan untuk mengikuti alunan ritme musik. Selain adanya proses belajar, para instruktur pertunjukan itu telah memperagakan bukan hanya proses pembelajaran, tetapi sekaligus proses pendidikan.
Ada dua hal penting dalam proses pembelajaran dari pendidikan ini, yaitu kepercayaan para instruktur bahwa anak didiknya memiliki talenta di antara sisi kelemahannya dan ketulusan hati para penari untuk percaya kepada instrukturnya. Alhasil, saat pertunjukan, para penari tidak hanya mampu membawakan keluwesan dan kekompakan gerakan. Namun lebih dari itu, dari senyum dan raut muka mereka tampak sebuah ketulusan untuk memberikan yang terbaik kepada para penonton.
Mereka tidak memahami keselarasan irama musik yang mengalun, tetapi tetap mempersembahkannya dengan tulus. Mereka tidak mampu menikmati keutuhan hasil karya mereka, tetapi tetap percaya dan tulus memberi yang terbaik. Satu saja gerakan yang tidak dilakukan dengan tulus akan mampu membuyarkan kekompakan seluruh penampilan mereka.
Tidak ada siswa yang bodoh
Herber Spencer pernah memberikan sebuah petuah bijak, ”The great aim education is not knowledge but action”. Kata-kata itulah yang selama ini menjadi jargon pendidikan yang justru sering terlupakan.
Sistem pendidikan kita sebenarnya telah mengacu pada rintisan petuah Spencer. Namun implementasi di lapangan, banyak kebijakan yang justru melenceng dari naluri dasar pendidikan.
Banyak cara mendidik kita selama ini sekadar memberikan materi pelajaran tanpa mampu mengolah ketulusan hati seorang siswa. Pada akhirnya, siswa hanya sebuah celengan yang selalu dijejali ”kepingan” materi pelajaran belaka tanpa mampu berempati terhadap situasi di sekelilingnya.
Bagi seorang guru, modal utama dalam mendidik adalah kepercayaan bahwa para siswa yang dihadapinya bukan seorang pribadi bodoh tanpa kemampuan. Meskipun mereka memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan, para pendidik seharusnya percaya bahwa ada talenta luar biasa di antara sisi kelemahan tersebut.
Selama ini kita telah dibiasakan memberi nilai siswa dari angka nol, yang berarti kita beranggapan bahwa siswa tidak bermodal apa pun saat mengerjakan soal tes. Mengapa kita tidak mengubah cara menilai dari angka seratus?
Kita seharusnya menganggap bahwa para siswa telah memiliki bekal kemampuan sehingga kesalahan menjawab soal tes digunakan untuk mengurangi angka seratus. Tanggung jawab seorang pendidik bukan hanya transfer ilmu secara masa bodoh, tetapi juga harus mampu menggali dan memoles keunikan talenta siswa yang tersembunyi.
Dengan bermodal kepercayaan terhadap sisi kemampuan siswa, seorang pendidik diharapkan telah mampu menyelami diri siswa secara cura personalis. Berbekal pendekatan pribadi inilah kita seharusnya mampu menggantungkan harapan penuh terhadap para pendidik. Kenyataan selama ini, kita sulit menemukan siswa dengan kepribadian tulus.
Para siswa dianggap cakap dalam kapasitasnya sebagai pelajar dengan kriteria mampu menguasai materi ajar. Semakin banyak materi pelajaran yang dikuasai, maka akan muncul anggapan siswa tersebut semakin pandai. Padahal, menurut Howard Gardner, ada multiple intelligences dalam setiap pribadi. Tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi mampu memunculkan aksi untuk berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain, serta peka terhadap situasi sosialnya.
Semakin melonjaknya jumlah koruptor di negeri ini merupakan bukti kurang optimalnya proses pendidikan anak bangsa selama ini. Proses pendidikan kita baru sebatas memunculkan angka dan eksekusi lulus atau tidak lulus. Pendidikan kita belum mampu memberi waktu luang bagi para guru untuk membangun karakter ketulusan siswa. Para pendidik akhirnya tidak mampu berbuat lebih untuk menyentuh dimensi hati para siswa karena tuntutan spasial project kurikulum pemerintah.
Sebatas mentransfer
Dari sisi para siswa, tampak bahwa tidak ada lagi ”kepercayaan” terhadap gurunya. Para guru telah memiliki habits sebatas mentransfer materi pelajaran tanpa berkebiasaan merefleksikannya dalam kehidupan siswa setiap hari.
Tidak akan ada waktu lagi untuk menggali nilai hidup dan sekadar 10 menit di akhir pelajaran untuk bersama berefleksi terhadap materi pelajaran hari itu. Kebisaan inilah yang tidak lagi memunculkan rasa sungkan siswa terhadap guru, apalagi menjadikan guru sebagai suri teladan kehidupannya.
Saat ini, tidak ada beda antara guru dan CD multimedia pembelajaran. Bahkan lebih manjur dan mengasyikkan CD pembelajaran dalam menyampaikan pelajaran dibandingkan dengan seorang guru.
Hati tulus yang terbentuk dari proses pendidikan kita semakin jauh dari angan. Akhirnya akan sulit menemukan seorang pelajar dengan bekal ilmunya secara tulus mau memberi dan bersimpati terhadap lingkungannya.
Mendekatkan sistem pendidikan dengan pengolahan kepribadian dan mengubah cara pandang terhadap kelemahan siswa mutlak diperlukan untuk menanggulangi krisis ketulusan bangsa ini.
”Cacat tubuh bukan kekurangan, melainkan satu keistimewaan dalam perbedaan yang ada di antara umat manusia. Cacat tubuh bukan ketidakberuntungan, ia tidak lebih hanyalah ketidakpraktisan” (Tai Li Hua, pemimpin tarian Thousand- Hand Bodhisattva yang juga tunarungu dan tunawicara).